Seni Ludruk dan Parikan: Kritik Sosial dan Humor Khas Jawa Timuran

Seni Ludruk dan Parikan adalah manifestasi paling otentik dari kebudayaan rakyat Jawa Timur, khususnya di wilayah Surabaya, Malang, dan Jombang. Lebih dari sekadar pertunjukan teater, Seni Ludruk dan Parikan merupakan medium komunikasi tradisional yang efektif untuk menyuarakan kritik sosial, menyebarkan informasi, dan menawarkan hiburan yang lugas serta merakyat. Kekuatan utama ludruk terletak pada dialognya yang spontan dan penggunaan parikan—pantun khas Jawa Timur—sebagai bumbu humor dan sindiran yang tajam. Seni Ludruk dan Parikan telah menjadi cerminan kehidupan sehari-hari masyarakat kelas bawah, menjadikannya tontonan yang relevan dan selalu dinanti.

Ludruk: Teater Rakyat yang Bersemangat

Ludruk adalah jenis kesenian drama tradisional yang panggungnya seringkali sederhana, namun ceritanya selalu dekat dengan isu-isu kontemporer atau kisah-kisah kepahlawanan lokal. Ciri khas utama Ludruk adalah:

  1. Tari Remo sebagai Pembuka: Setiap pertunjukan Ludruk selalu diawali dengan Tari Remo yang energik, dibawakan oleh seorang pria (meskipun seringkali diperankan oleh wanita untuk mempermanis penampilan), sebagai ritual penyambutan dan penghormatan.
  2. Lakon dari Kehidupan Nyata: Cerita yang diangkat berkisar dari kisah pahlawan lokal (Carita Pahlawan) hingga drama sosial tentang kemiskinan, korupsi, atau perselingkuhan. Dialog dilakukan dalam Bahasa Jawa Timuran yang blak-blakan (terus terang).

Di era kejayaan Ludruk pada dekade 1970-an hingga 1980-an, kelompok Ludruk profesional seperti Ludruk Cak Durasim sering menggelar pertunjukan yang dihadiri ribuan penonton, terutama pada malam Sabtu di gedung-gedung pertunjukan di pusat kota.

Parikan: Senjata Humor dan Kritik

Parikan adalah bentuk pantun dalam bahasa Jawa yang terdiri dari dua larik: larik pertama adalah sampiran (pembuka yang tidak berhubungan) dan larik kedua adalah isi (pesan atau humor yang ingin disampaikan). Parikan adalah elemen wajib dalam Seni Ludruk dan Parikan, berfungsi sebagai pemecah suasana, penekanan emosi, atau menyampaikan kritik tanpa terkesan menggurui.

Contoh Parikan dengan Kritik Sosial:

Wong tuku gabah, kok mesti nganggo kresek, (Orang beli gabah, kok selalu pakai kantong plastik,) Yen wis kadung dadi pejabat, kabeh rakyat lali kabeh. (Kalau sudah terlanjur jadi pejabat, semua rakyat dilupakan semua.)

Parikan seperti ini mampu membuat penonton tertawa sambil merenungkan pesan politik atau sosial di baliknya. Keberanian para pemain untuk menyelipkan parikan kritik seringkali menjadi tolok ukur kualitas kelompok Ludruk.

Transformasi dan Pelestarian

Ludruk menghadapi tantangan berat di era digital ini, terutama persaingan dari hiburan modern. Untuk melestarikan kesenian ini, Dinas Kebudayaan Jawa Timur telah mengalokasikan dana hibah sebesar Rp 300 juta pada tahun anggaran 2024 untuk revitalisasi sanggar-sanggar Ludruk dan penyelenggaraan Festival Ludruk Remaja, memastikan Seni Ludruk dan Parikan tetap hidup dan relevan bagi generasi muda.