Ludruk: Seni Drama Tradisional Jawa Timur yang Penuh Kritik Sosial dan Humor

Ludruk adalah salah satu warisan budaya tak benda paling berharga dari Jawa Timur. Lebih dari sekadar pertunjukan, Ludruk adalah cerminan kehidupan rakyat jelata, disajikan melalui dialog, tarian, dan nyanyian. Kekuatan utama dari Ludruk terletak pada kemampuannya untuk menggabungkan narasi serius tentang kehidupan sehari-hari dengan humor suroboyoan yang khas. Seni Drama Tradisional ini diyakini berasal dari Jombang dan Surabaya pada masa kolonial, berfungsi sebagai media hiburan sekaligus sarana komunikasi sosial. Peran Ludruk sebagai Seni Drama Tradisional yang menyuarakan aspirasi masyarakat menjadikannya sangat relevan dan dicintai hingga kini. Inti dari Ludruk sebagai Seni Drama Tradisional adalah kemampuannya menyajikan kritik sosial yang tajam dibalut tawa.

Struktur Pertunjukan dan Tokoh Sentral

Pertunjukan Ludruk memiliki struktur baku yang biasanya dimulai dengan Remong (tarian pembuka yang enerjik dan maskulin, yang sering ditarikan oleh penari pria berkostum wanita) dan Kidungan (nyanyian puji-pujian atau sindiran). Bagian inti adalah drama atau lakon yang mengangkat isu-isu sosial, politik, atau rumah tangga, seringkali dengan ending yang melankolis atau tragis. Durasi pementasan Ludruk dapat mencapai tiga hingga empat jam, seringkali dimulai pada Pukul 20.00 WIB dan berakhir menjelang tengah malam.

Tokoh sentral dalam Ludruk adalah Cak (tokoh pria) dan Ning (tokoh wanita), namun peran yang paling ikonik adalah Badut atau Cak Durasim, yang bertanggung jawab menyampaikan kritik sosial yang paling pedas. Seniman dan Pelestari Ludruk, Bapak Kartolo, dalam wawancara dokumenter pada tahun 2023, menjelaskan bahwa improvisasi (parikan dan bodoran) adalah kunci keberhasilan, memungkinkan para pemain untuk menanggapi isu-isu hangat yang terjadi di masyarakat saat itu juga.

Sejarah dan Peran Kritik Sosial

Pada era penjajahan Belanda dan masa pergerakan kemerdekaan, Ludruk memainkan peran penting sebagai alat propaganda dan penyemangat perlawanan rakyat. Grup-grup Ludruk sering mendapat pengawasan ketat dari pihak berwenang karena lirik-lirik lagu dan dialog mereka yang menyindir kekuasaan. Pusat Studi Kebudayaan Jawa Timur mencatat bahwa pada tahun 1947, pementasan Ludruk di Surabaya seringkali menjadi tempat persembunyian para pejuang kemerdekaan.

Saat ini, meski menghadapi tantangan dari media modern, beberapa kelompok Ludruk seperti Ludruk Irama Budaya (Surabaya) dan Ludruk Karya Budaya (Malang) terus aktif, dengan pementasan reguler setiap bulan sekali. Dukungan dari pemerintah daerah melalui Dinas Kebudayaan Provinsi Jawa Timur pada tanggal 15 Juni 2025 berupa bantuan dana operasional, diharapkan dapat memastikan Seni Drama Tradisional ini terus bertahan sebagai benteng budaya dan suara rakyat.